Monday, October 20, 2014

Makanlah dengan bijak

Pada suatu kesempatan makan siang disela-sela workshop fotografi di salah satu hotel di Bandar Lampung, saya berkenalan dengan dua orang sesama penyuka fotografi. Kami bertiga duduk dan makan bersama dalam satu meja. Saya melihat piring mereka berdua terisi penuh dan memaklumi bahwa kebanyakan porsi makan laki-laki memang lebih banyak dibandingkan perempuan.

Saya lebih dulu selesai dan terus mengobrol sambil menunggu mereka menyelesaikan makan siangnya. Tidak berapa lama mereka pun menyudahi makannya. Tetapi saya sedikit berkerenyit ketika melihat piring salah satu dari mereka masih berisi separuh makanan.
Saya pun tergelitik bertanya "lho..mas, kok gak dihabiskan?".
dan dia pun menjawab singkat, "sudah kenyang, saya memang makannya sedikit."
Lalu teman yang satu lagi berujar, "kalau makannya sedikit kenapa ambil banyak?."
dan dengan santainya dia menjawab, "gak enak kalau liat isi piringnya sepi."
Astaga..Jadi dia mengambil banyak makanan bukan karena ingin, tetapi agar penampakan isi piringnya terlihat bagus di mata dia.

Saya jadi merutuk dalam hati karena menurut saya menghabiskan makanan yang kita ambil sendiri merupakan salah satu contoh kecil tanggungjawab. Kita tahu porsi, keinginan dan kebutuhan kita terhadap makanan yang kita ambil. Seberapa banyak makanan yang diambil merupakan keputusan kita. Dan saya berpendapat keputusan berupa apapun harus dipertanggungjawabkan. Dalam hal makanan berarti kita harus menghabiskannya. Dimaklumi apabila makanan itu bukan kita yang menentukan isi dan porsinya. Tetapi sebisa mungkin bila kita membeli di warung makan tidak salah bila kita berpesan kepada pelayannya "mbak/mas, nasinya sedikit saja" atau mungkin yang lain bila memang satu porsi di warung tersebut di luar porsi makan kita.

Silakan bila dinilai berlebihan, tetapi terkadang saya menilai orang itu bertanggungjawab atau tidak, respek dan empati terhadap orang lain atau tidak adalah dengan melihat cara dia memperlakukan makanan. Karena perjalanan sesuatu itu menjadi makanan begitu panjang dan melalui proses yang tidak mudah. Begitu banyak orang-orang yang berperan dari  awal hingga akhir sehingga makanan bisa terhidang di hadapan kita. Dimana semuanya itu dilalui dengan keringat dan mungkin airmata.

Selain itu diluar sana begitu banyak orang yang kurang beruntung dan bekerja membanting tulang hanya untuk bertahan hidup. Berjuang untuk memenuhi suplai penunjang hidup yang paling dasar, makanan dan air. Tentu saja oksigen tidak saya bahas disini karena tersedia gratis selama kita hidup dan menginjak bumi.

Mungkin sebagian orang akan berkata "ahh.. saya yang bayar ini, terserah dong mau saya habiskan atau tidak". Maka orang itu lupa bahwa dengan begitu dia termasuk dalam orang-orang yang turut serta dalam menyia-nyiakan hasil sumber daya alam (resources) dan mengambil hak suplai makanan untuk orang lain. Suplai makanan yang tersia-siakan. Negara kita saja beras masih impor. Jadi ingat dengan salah satu quote tetapi saya lupa pernah membacanya dimana yang berbunyi "Money is yours, but resources belong to the society."

Tentu saja tidak ada yang dapat saya lakukan selain menghela nafas dan menuliskan pikiran saya disini. Harapan saya yang membaca tulisan ini tergelitik dan dapat memperlakukan makanan dengan baik. Bersyukurlah bahwa kita masih bisa makan dengan nikmat. Tidur dengan nyenyak. Janganlah lupa bahwa di luar sana tidak semua seberuntung kita. Makanlah dengan bijak.



Ditulis pertama kali pada tanggal 29 November 2012,
diedit kembali pada 20 Oktober 2014.



Sunday, August 12, 2012

Hemat air dan listrik

Sejak dahulu orang tua saya menyukai tanaman dan ibu saya mengisi waktu senggangnya dengan usaha jual beli tanaman hias. Tanaman-tanaman yang dipelihara orang tua saya tidaklah sedikit dan tentu saja membutuhkan air yang cukup banyak untuk menyiramnya pagi dan sore.

Disaat musim penghujan tentu air bukan menjadi masalah. Lain halnya bila musim kemarau tiba. Untung saja sumur di rumah kami tidak pernah kering walau di musim kemarau debit air mengalami penurunan. Tetapi meski bukan musim kemarau, orang tua saya selalu mengajarkan untuk tidak berlebihan dalam penggunaan air bukan karena alasan persediaan air saja tetapi juga untuk menghemat listrik. Kenapa dikatakan menghemat listrik? karena untuk menaikkan air dari dalam sumur tentu saja harus menghidupkan pompa air listrik.

Orang tua saya mengajarkan untuk menampung air pada saat berwudhu dan mencuci muka. Jadi bila kami berwudhu dan mencuci muka, dibawahnya sudah tersedia ember untuk menadah sisa-sisa air yang jatuh. Dalam sehari sisa-sisa air itu bila dikumpulkan bisa mencapai 6 hingga 7 ember. Air tampungan itu dimanfaatkan untuk menyiram tanaman atau untuk menyiram toilet saat buang air besar.

Orang lain yang berkecukupan mungkin berpikir "aah.. ngenes amat ngumpulin air sampai segitunya." Tetapi pada saat itu keluarga kami hanyalah keluarga sederhana. Ayah hanyalah pegawai biasa yang harus menyekolahkan kelima anaknya. Tentu berhemat adalah salah satu cara untuk mengatur keuangan.

Pada saat itu orang tua saya tidak kenal dengan istilah Go Green yang sekarang begitu populer didengung-dengungkan. Orang tua saya selalu mematikan lampu dapur, ruang makan dan ruang tamu saat malam telah larut, mengomel bila kami lupa mematikan lampu kamar mandi setelah selesai digunakan atau meninggalkan televisi hidup begitu saja tanpa ditonton. Dan kami anak-anaknya pada saat itu hanyalah anak kecil yang menjalankan bukan karena sepenuhnya mengerti tetapi karena takut diomeli. Tetapi seiring bertambahnya usia kami pun menjalankan karena sudah memahami alasannya. Dan saya bersyukur dibesarkan dengan cara seperti itu.

Jadi bila pembaca mengalami kesulitan air pada saat kemarau, menampung air sisa berwudhu atau mencuci muka patut dicoba. Tanaman anda tidak layu dan untuk menyiram toilet pada saat buang air tidak perlu mengurangi jatah air bersih anda bukan..?


Tuesday, May 29, 2012

20 Bad Habits

Copy from my friend's notes :)

Here are twenty bad habits many of us repeatedly struggle with:
  1. Expecting life to be easy. – Nothing starts easy; everything begins at some level of difficulty.  Even waking up in the morning sometimes requires notable effort.  But one beautiful thing about life is the fact that the most difficult challenges are often the most rewarding and satisfying.
  2. Overlooking your true path and purpose. – What really matters in life is not what we buy, but what we build; not what we have, but what we share with the world; not our capability but our character; and not our success but our true significance.  Live a life that makes you proud – one that matters and makes a difference.  Live a life filled with passion and love. 
  3. Chasing after those who don’t want to be caught. – Do not chase people.  Be you, do your own thing and work hard on your passions.  The right people who belong in your life will eventually come to you, and stay.
  4. Not asking for help when you know you need it. – No matter how far you’ve gone down the wrong road, you can always turn back.  Be STRONG enough to stand alone, SMART enough to know when you need help, and BRAVE enough to ask for it.
  5. Letting one dark cloud cover the entire sky. – Take a deep breath.  It’s just a bad moment, or a bad day, not a bad life.  Everyone has troubles.  Everyone makes mistakes.  The secret of happiness is to count your blessings while others are adding up their troubles.
  6. Holding on to things you need to let go of. – Letting go doesn’t mean giving up, but rather accepting that there are things in life that should not be.  Sometimes letting go is what makes us stronger, happier and more successful in the long run.
  7. Spending time with people who make you unhappy. – People can be cruel, and sometimes they will be.  People can hurt you and break your heart, and sometimes they will.  But only YOU can allow them to continuously hurt you.  Value yourself enough to choose to spend time with people who treat you the way you treat them.  Know your worth.  Know when you have had enough.  And move on from the people who keep chipping away at your happiness.
  8. Not making time for those who matter most. – When we take things for granted, these things eventually get taken away.  Too often we don’t realize what we have until it’s gone.  Too often we are too stubborn to say, “I’m sorry, I was wrong.”  Too often it seems we hurt the ones closest to us by letting insignificant issues tear us apart.  Appreciate what you have, who loves you and who cares for you.  You’ll never know how much they mean to you until the day they are no longer beside you.
  9. Denying personal responsibility. – You’re getting almost everything you’re getting right now based on the decisions you have made; and you will continue to receive the same things until you choose differently.  You always have some element of control.  There are always other options.  The choices might not be easy, but they are available.  You will not get a different result until you exercise a choice that forces you to grow by habit, by action, and by change.
  10. Letting everyone else make decisions for you. – Never allow someone or something that adds very little to your life, control so much of it.  You’ve got to stop caring about what everyone else wants for you, and start actually living for yourself.  Let go of the people and things that continuously hold you back and no longer serve you, because you only get one shot at life.
  11. Giving up who YOU are. – Remove yourself from any situation that requires you to give up any one of these three things:  1) Who you are.  2)  What you stand for.  3)  The goals you aspire to achieve. 
  12. Quitting as soon as things get slightly difficult. – An arrow can only be shot by pulling it backward; and such is life.  When life is pulling you back with difficulties, it means it’s going to eventually launch you forward in a positive direction.  So keep focusing, and keep aiming!
  13. Doing too much and pushing too hard, without pausing. – Plenty of people miss their share of happiness, not because they never find it, but because they never stop long enough to enjoy it.  Sometimes we are so focused on what we want that we miss the things we need most.
  14. Discrediting yourself for everything you aren’t. – STOP discrediting yourself for everything you aren’t.  START giving yourself credit for everything that you are.
  15. Running from current problems and fears. – Trust me, if everyone threw their problems in a pile for you to see, you would grab yours back.  Tackle your problems and fears swiftly, don’t run away from them.  The best solution is to face them head on no matter how powerful they may seem.  Either you own your problems and fears, or they will ultimately own you.
  16. Constantly mulling over past hardships. – You’ll never see the great things ahead of you if you keep looking at the bad things behind you.  To reach up for the new, you must let go of the old.  You are exactly where you need to be to reach your goals.  Everything you’ve been through was preparation for where you are right now and where you can be tomorrow.
  17. Denying your mistakes. – Remember that most honorable people of all are not those who never make mistakes, but those who admit to them when they do.  And then go on to do their best to make the wrong things right.
  18. Expecting your significant other to be perfect. – Remember that you will never find a PERFECT partner to love you in the exact way you had envisioned, only a person who is willing to love you with all that they are.  Someone who will accept you for who you can and cannot be.  And although they will never be PERFECT, finding a partner like this is even BETTER.
  19. Focusing on the negative. – Positive thinking isn’t about expecting the best thing to happen every time, it’s about accepting that whatever happens is good for this moment, and then making the best of it.  So stay positive, and hold on to what’s truly important.  Let your worries go.  No matter how you look at it, some outcomes just don’t make sense right away.  Choosing to carry on with your goals through this uncertainty is what matters.
  20. Never allowing things to be good enough. – We are human.  We are not perfect.  We are alive.  We try things.  We make mistakes.  We stumble.  We fall.  We get hurt.  We rise again.  We try again.  We keep learning.  We keep growing.  And we are thankful for this priceless opportunity called life.

Monday, January 30, 2012

Antara Hemat dan Pelit

Dalam berbagai situasi keuangan, acapkali kita mendengar ucapan “ah, dia mah orangnya pelit, ngeluarin uang susah bener”. Bisa jadi orang yang bersangkutan itu memang pelit atau hanya hemat atau memang tidak punya uang.

Kita harus bisa membedakan antara hemat dan pelit. Hemat berarti berhati-hati dalam pengeluaran uang yang tidak perlu. Suatu kondisi di antara sifat pelit dan boros. Sedangkan pelit hanya ingin menyimpan dan mengeluarkan untuk kepentingan diri sendiri sehingga untuk hal yang berkaitan dengan orang lain dia akan menghindarinya atau berusaha untuk memberikan sesedikit mungkin.

Berkaitan dengan hemat dan pelit, saya pernah mengalami beberapa kejadian. Misal di saat saya sedang menempuh pendidikan di universitas yang biayanya saya bertekad untuk menanggung sendiri dengan bekerja di suatu perusahaan. Saya mengambil kuliah malam hari karena pagi hingga sore saya harus bekerja. Pada saat itu saya harus memutar otak bagaimana dengan penghasilan yang pas-pasan saya harus membiayai kuliah tanpa membebani orang tua dan keluarga saya. Mulai dari tiap hari membawa bekal makan siang, tidak pernah jajan dan tidak pernah membeli sesuatu yang tidak perlu.

Pada saat itu saya bener-bener harus berhemat karena bila tidak maka saya tidak akan bisa menabung untuk membayar kuliah di awal semester berikutnya.  Dan Alhamdulillah dengan berhemat saya bisa menyelesaikan pendidikan saya tanpa perlu memberatkan orang tua dan keluarga dan akhirnya bisa mendapatkan pekerjaan yang jauh lebih layak.

Adalagi kejadian baru-baru ini dimana saya diserang dalam akun twitter milik seorang istri rekan kerja. Dalam akunnya tersebut dia menuduh bahwa saya dengan seenaknya menentukan besaran sumbangan di divisi kami untuk beberapa event. Memang pada saat itu di waktu yang hampir bersamaan, ada dua istri rekan yang baru melahirkan, ada seorang rekan yang menikah, dan seorang rekan jatuh sakit.

Tentu saja sebagai bentuk perhatian, kami sepakat untuk memberikan bingkisan/kado dan sumbangan bukan secara perorangan melainkan atas nama 1 divisi. Tujuannya tak lain adalah untuk menghemat pengeluaran yang lebih besar bila dilakukan atas nama perorangan. Untuk itu kami pun mengumpulkan sumbangan yang besarnya berdasarkan kesepakatan dari rekan-rekan yang dituakan dengan mempertimbangkan sisi kepantasan dan perkiraan nominal barang. Dan saya yang ditugaskan untuk mengumpulkannya.

Namun yang terjadi salah seorang istri dari rekan kerja menuduh dan mengeluh besaran sumbangan tersebut. Dia menuduh hal tesebut tidak mempertimbangkan kebutuhan yang lain seperti kebutuhan anak, keluarga, hutang bank dan lain-lain. Selain kata-kata yang kurang pantas dia mengatakan yang intinya bahwa hal-hal tersebut tidaklah perlu.

Tindakan yang dilakukan istri rekan tersebut tanpa dia sadari mempermalukan suaminya sendiri.  Karena tindakannya tanpa bisa dicegah tersebar dan menjadi perbincangan. Dan semua rekan yang mengetahui hal tersebut menyesalkan tindakan yang dinilai pengecut dan berlebihan. Selain kami tahu besar penghasilan suaminya, bila menggunakan alasan kebutuhan anak, banyak dari rekan-rekan yang memiliki anak lebih banyak dan hampir  seluruh dari kami sama-sama masih memiliki kewajiban terhadap bank atas cicilan rumah maupun kendaraan yang rata-rata memangkas setengah hingga tigaperempat dari penghasilan.  Selain itu besarnya sumbangan yang ditetapkan untuk 5 orang masih terbilang lebih ringan bila dibandingkan memberi bingkisan atau sumbangan atas nama pribadi bila dilihat dari sisi kepantasan nominal rupiah.

Hemat memang perlu, tapi kita harus tetap menyisihkan untuk pos biaya sosial. Hal tersebut tidak bisa kita kesampingkan karena tidak menutup kemungkinan kita pernah atau akan mengalami peristiwa duka cita seperti sakit atau kematian anggota keluarga ataupun suka cita seperti  menikah, khitanan ataupun kelahiran. Selain itu ada pula kewajiban kita menyisihkan juga untuk yang berhak.

Atas kejadian tersebut akhirnya di kantor pun banyak dari rekan kerja kami berseloroh “Memang, antara hemat dan pelit itu beda tipis.” Walau sebenarnya menurut saya perbedaannya cukuplah besar.

Friday, September 30, 2011

ATM

Dua orang anak perempuan sedang riuh di depan sebuah ATM di salah satu pusat perbelanjaan di Bandar Lampung. Mereka masih memakai pakaian seragam pramuka Sekolah Dasar. ATM itu berada di dekat pintu masuk dan tidak berada dalam bilik.
"Bener tau, ini bisa ngeluarin uang. ini ada gambarnya." tunjuk salah satu anak.
"Tapi gimana caranya ya?." jawab anak yang satu lagi.

Melihat saya menuju mesin itu, mereka berdua pun menepi dengan leher memanjang melongok-longok penasaran. Mereka memperhatikan saat saya memasukkan kartu, menekan-nekan tombol dan saat uang keluar dari mesin. Dengan wajah takjub mereka melihat uang yang sekarang dalam genggaman tanganku dengan penuh keinginan.
"Tante, biar bisa dapat uang dari mesin ini harus punya kartu dulu ya?, dapatinnya dimana?," tanya mereka lugu.
"oh, iya kalau mau punya kartu ini kalian harus punya tabungan dulu di bank." saya menjawab sambil tersenyum.
"ooo..jadi mintanya di bank ya?," mereka manggut-manggut belum sepenuhnya mengerti. Mereka berpikir bila memiliki kartu ajaib seperti milik saya, mereka bisa mendapatkan uang.

Karena diburu waktu, saya tidak bisa menjelaskan lebih lanjut. Tetapi saya dapat merasakan rasa ingin tahu mereka belum terpuaskan. Saya berpikir alangkah baiknya bila di usia mereka sudah diperkenalkan dengan pengetahuan dasar tentang bank.

Tentu saja untuk anak-anak usia Sekolah Dasar harus memakai metode yang sederhana. Mungkin untuk manfaat menabung, ada sebagian anak yang sudah dididik dan diajarkan oleh orang tuanya untuk menabung, sebagian tidak.

Setidaknya di usia tertentu, pada saat anak sudah mengetahui manfaat menabung. Sekolah dapat mengenalkan lebih lanjut pengetahuan sederhana tentang bank dan uang. Misalnya bagaimana menabung di bank, ATM adalah apa, dan lain-lain. Di zaman yang sudah begitu maju dimana teknologi komputer sudah mulai diperkenalkan di sekolah, bahkan penggunaan internet sudah banyak dilakukan oleh anak usia sekolah dasar, tentu pengenalan pengetahuan dasar tentang bank bukanlah hal yang berat bila dilakukan dengan metode yang sesuai dengan usia mereka.

Saya mengharapkan jumlah anak-anak usia Sekolah Dasar yang terbengong-bengong melihat uang keluar dari sebuah mesin tanpa tahu mengapa begini mengapa begitu semakin berkurang. :)

Thursday, October 21, 2010

Cerita tentang Sahabat

Salah seorang sahabat sedang mengalami masalah rumah tangga serta meminta saran dan nasihat. Sebagai sahabat yang baik tentu saya akan setia mendengar curahan hati dan perasaannya. Sekedar saran atau nasihat tentu saja saya berikan untuk hal-hal yang baik untuk menentramkan hatinya bukan untuk menyulut emosinya. Saya tidak ingin ikut campur bila kaitannya dengan rumah tangga orang lain. Setiap pasangan memiliki ranah pribadi dimana saya memiliki komitmen tidak akan menyentuhnya meskipun itu sahabat terdekat sekali pun.

Setiap rumah tangga pasti memiliki permasalahan masing-masing, dan untuk pemecahannya pun tergantung dari pasangan tersebut. Segala sesuatu yang diniatkan untuk tujuan baik pasti akan tercapai bila masing-masing individu sadar akan hak dan kewajibannya serta berpegang teguh pada komitmen dan konsekuensi yang terbentuk dalam berumah tangga.

Masalah salah satunya akan terjadi apabila salah satu pasangan belum memahami posisinya dalam rumah tangga dalam pandangan masyarakat dalam segi kepatutan atau kepantasan. Di Indonesia kepatutan atau kepantasan masih menjadi suatu norma dan adat ketimuran yang dipegang teguh. Apalagi bila norma tersebut diperkuat dengan syariah agama. Hal ini bila dilanggar tentu akan menyebabkan fitnah maupun ghibah.

Dalam kehidupan sehari-haripun di luar pasangan yang telah berumah tangga, kita harus memperhatikan etika bergaul. Apalagi dalam kehidupan rumah tangga benar-benar harus memperhatikan hal tersebut terutama terhadap lawan jenis. Dalam etika bergaul, kita diperbolehkan untuk berteman dengan siapa pun, namun ada batasan-batasan dalam norma kepantasan yang harus kita penuhi.

Bagi wanita maupun pria yang telah menikah tentu akan membatasi hubungan pertemanan yang terlampau dekat dengan lawan jenis misalnya curhat berdua, pergi bersama, atau hal-hal lain diluar sepengetahuan pasangan maupun di luar hubungan pekerjaan. Hal ini merupakan konsekuensi dalam kaitannya dengan menjaga diri dari hal-hal yang akan menyebabkan fitnah maupun ghibah dan tentu saja menghargai perasaan masing-masing pasangan.

Ok, kembali kepada seorang sahabat yang mengalami masalah rumah tangga. Sesuai dengan komitmen, saya tidak ingin ikut campur dengan permasalahan rumah tangga sahabat saya tersebut dan tidak ingin berpihak. Masing-masing individu selalu diberikan kesempatan untuk mengalami cobaan dan permasalahan. Hal tersebut merupakan media pembelajaran untuk menjadi lebih dewasa dan bijak.

Saya hanya bisa mendoakan semoga segera diberikan jalan keluar untuk perubahan yang lebih baik. Semoga pasangannya segera mengerti akan posisinya dalam berumah tangga. Semoga selalu diluruskan jalannya untuk tidak melanggar norma kepantasan dan tanggungjawabnya sebagai nahkoda yang baik. Nahkoda yang akan selalu menjaga kapalnya dari limbung akibat terpaan angin dan badai, serta menjaga kebocoran agar tidak tenggelam di tengah lautan dan selamat sampai tujuan. Dan semoga sahabat saya selalu diberikan kesabaran untuk selalu mendampingi. Amin. Ingatlah selalu di kapal itu kalian tidak sendiri lagi.

Tuesday, August 31, 2010

Kebohongan dan Kejujuran

Apa yang kamu lakukan bila tanpa sengaja menemukan fakta dan data valid yg merupakan suatu kebohongan seseorang terhadap diri sendiri, orang tua dan orang lain? dan cukup ternganga dengan keberanian dia dalam merekayasa suatu kebohongan.

Bukan suatu hal yg merugikan orang banyak tetapi merupakan suatu tanggung jawab moral bagi diri dan orang tua. apakah sebaiknya mengambil sikap selemah-lemahnya iman yaitu tetap diam tapi membenci hal tersebut? atau mengungkapkan suatu hal yang dengan resiko dituduh memfitnah, membuka aib dan mungkin akan dibenci oleh seseorang yang rahasianya diungkapkan?

Mungkin rahasia ini lebih baik diungkapkan secara jujur oleh orang yang bersangkutan. Tapi bila orang tersebut tidak memiliki keberanian ataupun mungkin egonya yang berbicara untuk tidak berterusterang, Salahkah kita bila membiarkan suatu kebohongan yang telah kita ketahui tidak terungkap selama bertahun-tahun? Salahkah kita bila kita membiarkan seseorang yang membohongi orang lain itu terus menimbun dosa atas kebohongannya? dan berarti kita pun ikut berdosa dengan menutupi kebenaran yang sebenarnya telah kita ketahui.

Tetapi berhak kah kita untuk mengungkapkannya?

Di satu sisi kita mungkin tak ingin dibenci orang yang berbohong itu, di sisi lain hati nurani kita berontak melihat orang lain yang dibohongi hidup dalam pikiran dan anggapan yg terbentuk oleh kebohongan tersebut. Dan lebih miris lagi saat melihat dimana kebohongan itu terus berlanjut dari dua orang menjadi banyak orang.

Mungkin saat ini kita hanya bisa diam.. wait and see. Tapi saya percaya Allah Maha Mengetahui, dan mungkin Allah akan menunjukan caranya entah dengan jalan apa kebenaran itu akan terungkap dan itu mungkin akan menyakitkan bila diketahui dari bibir orang lain.

pesan moral : Kejujuran memang terkadang menyakitkan, tetapi itu lebih baik daripada hidup dalam kebohongan. Membohongi diri sendiri, keluarga dan orang lain seumur hidup. Semoga orang yang melakukannya dapat terketuk dengan cerita saya ini. Dan semoga dapat memperoleh keberanian untuk berkata jujur. Semoga..